Qadha Puasa Asyura karena Haid?
Apakah wanita haid yang tidak bisa puasa Asyura bisa meng-qadha’nya setelah suci? Karena berharap ingin mendapatkan pahala puasa di hari Asyura.
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Orang yang tidak bisa puasa asyura disebabkan udzur tertentu, tidak perlu meng-qadha’nya. Mengingat tidak ada dalil yang menjelaskan hal ini. Dan pahala puasa Asyura itu dikaitkan dengan kegiatan puasa di tanggal 10 Muharram saja.
Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya, ada orang yang tidak bisa menjalankan puasa Asyura disebabkan haid, apakah dia boleh meng-qadha’nya?
Jawaban yang beliau sampaikan,
النوافل نوعان : نوع له سبب ، ونوع لا سبب له ، فالذي له سبب يفوت بفوات السبب ولا يُقضى ، مثال ذلك : تحية المسجد ، لو جاء الرجل وجلس ، ثم طال جلوسه ثم أراد أن يأتي بتحية المسجد ، لم تكن تحية للمسجد ، لأنها صلاة ذات سبب ، مربوطة بسبب ، فإذا فات فاتت المشروعية
Amalan sunah itu ada 2: [1] Amalan sunah yang memiliki sebab, dan [2] Amalan sunah yang tidak memiliki sebab. Untuk amalan sunah yang memiliki sebab, menjadi hilang kesempatannya dengan hilangnya sebab, dan tidak perlu di-qadha. Contoh, tahiyatul masjid. Ketika ada orang datang lalu duduk lama sekali, kemudian dia ingin melakukan tahiyatul masjid, maka shalatnya tidak terhitung sebagai tahiyatul masjid. Karena tahiyatul masjid adalah shalat yang memiliki sebab, terikat dengan sebab tertentu. Ketika sebabnya hilang, maka tidak disyariatkan melakukannya.
Kemudian beliau melanjutkan,
ومثل ذلك فيما يظهر يوم عرفة ويوم عاشوراء ، فإذا أخر الإنسان صوم يوم عرفة ويوم عاشوراء بلا عذر ، فلا شك أنه لا يقضي ، ولا ينتفع به لو قضاه ، أي لا ينتفع به على أنه يوم عرفة ويوم عاشوراء .
Contoh yang lain – menurut yang kita pahami – adalah puasa hari arafah dan hari Asyura’. Ketika seseorang menunda puasa hari Arafah dan hari Asyura tanpa udzur, kita semua tahu, dia tidak boleh meng-qadha’nya. Dan tidak ada manfaatnya andai dia meng-qadha’nya. Artinya tidak dinilai sebagai puasa hari Arafah atau hari Asyura.
Beliau juga mengatakan,
وأما إذا مر على الإنسان وهو معذور ، كالمرأة الحائض والنفساء أو المريض ، فالظاهر أيضاً أنه لا يقضي ؛ لأن هذا خص بيوم معين يفوت حكمه بفوات هذا اليوم
Sementara ketika ada orang yang memiliki udzur, seperti wanita haid atau nifas atau karena sakit, yang kami pahami, dia juga tidak perlu meng-qadha’. Karena puasa ini khusus dengan hari tertentu, sehingga hukumnya tidak berlaku ketika hari tersebut sudah berlalu. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 20/43).
Tetap Memiliki Pahala jika Diiringi dengan Niat
Orang yang memiliki rutinitas amal tertentu, kemudian dia tidak bisa mengerjakannya disebabkan udzur, seperti sakit, haid, atau nifas, dan dia berniat untuk tetap menjalankan amal itu andai tidak ada udzur, maka dia tetap mendapatkan pahala sesuai amal yang dia niatkan.
Dalam hadis dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Ketika seorang hamba mengalami sakit atau safar, maka dicatat untuknya pahala amalan seperti yang dia kerjakan ketika mukim dan sehat.” (HR. Bukhari 2996).
al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan,
قَوْله : ( كُتِبَ لَهُ مِثْل مَا كَانَ يَعْمَل مُقِيمًا صَحِيحًا ) وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فمُنِع مِنْهَا ، وَكَانَتْ نِيَّته ـ لَوْلَا الْمَانِع ـ أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis di atas, “dicatat untuknya pahala amalan seperti yang dia kerjakan ketika mukim dan sehat” ini berlaku bagi orang yang memiliki kebiasaan amal soleh, lalu dia terhalangi untuk melakukannya. Sementara niatnya ingin terus mengerjakannya – andai tidak ada penghalang..
(Fathul Bari, 6/136)
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/33144-qadha-puasa-asyura-karena-haid.html